Poin Penting
- Forum Indonesia Re menekankan bahwa ketahanan industri asuransi tidak cukup hanya dengan modal besar.
- Praktisi menyoroti pentingnya budaya tata kelola dan kerangka Governance, Risk, and Compliance (GRC) yang kuat.
- Indonesia mulai mengadopsi IFRS 17 dengan skema Loss Portfolio Transfer (LPT) dan Quota Share (QS) untuk memperkuat permodalan.
Jakarta – PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re menyelenggarakan forum Insurance Industry Dialogue bertajuk “Enhancing The Resilience of Insurance Industry: Synergizing Capital Management and GRC” di St. Regis Jakarta.
Forum ini mempertemukan regulator, pelaku industri, akademisi, dan praktisi hukum sebagai wadah diskusi strategis untuk memperkuat struktur permodalan dan tata kelola industri perasuransian nasional.
Industri asuransi dan reasuransi dikenal sebagai sektor yang padat modal (highly capital intensive). Namun, di tengah risiko yang kian kompleks, mulai dari perubahan iklim, risiko siber, hingga volatilitas pasar, modal besar saja tidak lagi cukup.
Ketahanan industri kini lebih ditentukan oleh kemampuan memanfaatkan instrumen risk transfer modern yang memberikan dampak langsung terhadap capital relief dan capacity relief. Di tingkat global, mekanisme risk transfer telah berevolusi jauh melampaui fungsi tradisional reasuransi.
Menurut Simon Goh, Head of Strategic Solutions APAC Rajah & Tann Asia, stabilitas perusahaan asuransi modern tidak lagi hanya bertumpu pada sistem dan regulasi, tetapi juga pada budaya tata kelola dan akuntabilitas individu.
Ia menegaskan bahwa negara-negara seperti Australia, Singapura, dan Inggris telah mengadopsi senior manager regime atau individual accountability framework untuk memperkuat tanggung jawab personal di sektor keuangan.
“Anda bisa punya sistem dan proses di atas kertas, tapi jika ada satu individu yang menyalahgunakan posisi, dampaknya bisa besar terhadap perusahaan dan sistem keuangan secara keseluruhan,” ujarnya dikutip 15 Oktober 2025
Baca juga: 109 Asuransi dan Reasuransi Sudah Penuhi Ketentuan Ekuitas Minimum 2026
Simon menjelaskan bahwa secara global, perusahaan asuransi dihadapkan pada tantangan berat akibat era suku bunga rendah yang panjang. Hal ini menekan hasil investasi dan arus kas, terutama bagi perusahaan yang menjual produk jangka panjang seperti dana pensiun dan endowment. Akibatnya, banyak perusahaan mencari strategi risk transfer untuk mengoptimalkan permodalan, baik melalui reasuransi konvensional maupun instrumen alternatif berbasis pasar modal.
Ia mencontohkan dua praktik yang kini menjadi sorotan global, yakni asset-intensive reinsurance dan insurance-linked securities (ILS).
Di negara-negara seperti Jepang, asset-intensive reinsurance meningkat pesat karena perusahaan asuransi berupaya mengalihkan risiko aset dan liabilitas kepada reasuradur agar modalnya lebih efisien. Namun, ia mengingatkan bahwa strategi ini tidak bisa dilepaskan dari pengawasan tata kelola.
“Peraturan dan kerangka pengawasan harus mampu menyeimbangkan kebutuhan efisiensi modal dengan risiko stabilitas keuangan. Kegagalan seperti kasus 777 Re di Bermuda menunjukkan bahwa lemahnya tata kelola bisa mengguncang pasar global,” jelas Simon.
Sementara itu, Singapura menjadi contoh sukses dalam pengembangan instrumen alternative risk transfer melalui Insurance-Linked Securities (ILS).
Melalui regulasi Special Purpose Reinsurance Vehicle (SPRV) dan ILS Grant Scheme yang diluncurkan sejak 2018, Singapura berhasil menarik penerbitan lebih dari 30 obligasi bencana senilai sekitar SGD 5 miliar.
“Skema ini membuka akses modal global bagi industri asuransi dan memperkuat posisi Singapura sebagai hub reasuransi Asia,” kata Simon.
Pemerintah Singapura bahkan menyesuaikan kebijakan pajak dan standar anti-money laundering untuk menjaga transparansi di tengah meningkatnya arus modal lintas negara.
Di Indonesia, strategi risk transfer masih menghadapi tantangan yang berbeda. Dr. Ludovicus Sensi W., CPA, CA menilai bahwa implementasi risk transfer di Indonesia kini memasuki babak baru dengan adopsi standar IFRS 17 atau PSAK 117. Dalam kerangka ini, dua bentuk utama yang banyak digunakan adalah Loss Portfolio Transfer (LPT) dan Quota Share (QS).
“Risk transfer harus memenuhi dua syarat utama yaitu perpindahan risiko yang nyata dan kepatuhan terhadap ketentuan regulator,” tuturnya.
Ludovicus menjelaskan, dalam praktiknya, Loss Portfolio Transfer diterapkan untuk mengalihkan cadangan klaim masa lalu kepada reasuradur. Skema ini terbukti dapat memperkuat posisi ekuitas dan menurunkan kebutuhan modal berbasis risiko, sehingga meningkatkan ruang ekspansi bagi perusahaan.
Sementara itu, Quota Share memungkinkan pengalihan sebagian portofolio polis kepada reasuradur sehingga meningkatkan Risk-Based Capital (RBC) secara signifikan dan menstabilkan arus kas perusahaan.
Dari sisi pengawasan, Nani Ulina Kartika Nasution, Direktur Pengawasan Badan Usaha Jasa Keuangan dan Manufaktur BPKP, menekankan bahwa keberhasilan capital solution seperti risk transfer sangat bergantung pada penerapan kerangka Governance, Risk, and Compliance (GRC) yang kuat.
Ia menilai masih banyak BUMN asuransi yang belum menjalankan prinsip tata kelola dengan baik dalam setiap aksi korporasi.
“Keputusan tanpa kajian risiko yang memadai berpotensi menimbulkan fraud, window dressing, atau konflik kepentingan. Kajian bisnis dan due diligence harus menjadi prasyarat sebelum aksi korporasi dilakukan,” ujarnya.
Baca juga: OJK: Total Aset Asuransi pada Juni 2025 Capai Rp1.163,11 Triliun, Tumbuh 3,27 Persen
BPKP menemukan bahwa beberapa perusahaan masih memiliki kelemahan mendasar, seperti dokumentasi kontrak reasuransi yang lemah, tidak adanya notulen rapat atau pelaporan resmi ke regulator, serta kurangnya mekanisme akuntabilitas antar organ perusahaan.
Kasus Jiwasraya dan Wanaartha Life menjadi contoh nyata bagaimana lemahnya tata kelola dapat menimbulkan kerugian besar dan menurunkan kepercayaan publik.
Oleh karena itu, Nani menegaskan pentingnya penerapan prinsip GRC khususnya dalam pengambilan keputusan melalui prinsip Business Judgment Rule (BJR), agar setiap keputusan yang diambil dalam area abu-abu tetap bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, selama dilakukan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.
Forum ini akhirnya menegaskan satu hal penting, yaitu risk transfer bukan sekadar instrumen finansial untuk memperbaiki rasio modal, melainkan bagian dari strategi jangka panjang untuk menjaga stabilitas, kepercayaan, dan keberlanjutan industri asuransi.
Dengan pembelajaran dari pasar global dan penguatan tata kelola di tingkat domestik, industri asuransi Indonesia diharapkan mampu menghadapi risiko masa depan dengan fondasi modal yang sehat, sistem pengawasan yang kuat, dan budaya akuntabilitas yang tertanam di setiap lini organisasi. (*) Alfi Salima Puteri