Muliaman Hadad: Agility Jadi Kunci Hadapi Ketidakpastian Global


Jakarta – Di tengah ketidakpastian global yang kian meningkat akibat eskalasi konflik geopolitik dan tekanan ekonomi dunia, Wakil Ketua Dewan Pengawas Danantara, Muliaman Darmansyah Hadad menegaskan pentingnya agility atau kelincahan, baik bagi korporasi maupun negara, dalam merespons dinamika situasi global yang cepat berubah.

Pernyataan tersebut disampaikan Muliaman Hadad dalam gelar wicara Mid-Year Outlook 2025 dengan tema “Managing Risk & Suistanability in Economic Uncertainty & Cyberheist”, yang diselenggarakan Infobank Media Group, di Shangri-La Hotel Jakarta, Selasa, 24 Juni 2025.

Muliaman mengungkapkan bahwa berbagai indikator menunjukkan peningkatan ketidakpastian global selama dua dekade terakhir.

Perang Irak, krisis keuangan global 2008, perang dagang Amerika-China, konflik Rusia-Ukraina, serta ketegangan terbaru di kawasan Timur Tengah menjadi faktor pemicu naiknya indeks ketidakpastian dunia.

“Indikator uncertainty index jelas memperlihatkan tren kenaikan. Ini bukan lagi sekadar persepsi, tapi fakta berbasis data,” ujar Muliaman.

Baca juga: Ekonomi Indonesia dan Guncangan Global, Tangguh tapi Belum Kebal

Eskalasi Konflik Dorong Lonjakan Risiko Ekonomi

Muliaman menjelaskan, konflik yang belum mereda di kawasan Timur Tengah dapat menimbulkan dampak serius. Jika ketegangan antara Iran dan Israel terus meluas, lonjakan harga minyak, gangguan distribusi energi di Selat Hormuz, serta tekanan terhadap perdagangan global menjadi konsekuensi yang tidak terhindarkan.

Selain itu, ia juga mengingatkan akan potensi disrupsi rantai pasok (supply chain disruption), tekanan inflasi global, pelemahan pasar keuangan, hingga risiko perlambatan ekonomi dunia.

“Konflik geopolitik ini bukan hanya isu regional, tapi bisa berdampak pada harga komoditas global, pasar modal, bahkan proses ekspor-impor negara-negara seperti Indonesia,” jelasnya.

Baca juga: Disrupsi Rantai Pasok Meningkat, Asuransi dan Reasuransi Jadi Penjamin Ketidakpastian

Enam Risiko Utama Mengintai Korporasi

Menurut Muliaman, dunia usaha nasional perlu mewaspadai enam risiko utama:

  1. Disrupsi rantai pasok
  2. Fluktuasi harga dan volatilitas pasar
  3. Sulitnya akses pendanaan
  4. Perubahan regulasi dan tekanan pemenuhan standar ESG
  5. Meningkatnya ancaman siber
  6. Tantangan dalam mendapatkan talenta berkualitas

Sementara, di tingkat negara, risiko yang mengintai antara lain instabilitas ekonomi makro, tensi geopolitik yang memanas, risiko sosial-politik, perubahan iklim, penurunan investasi asing langsung (FDI), dan membengkaknya utang pemerintah.

Agility Jadi Kunci Bertahan

Di tengah situasi tersebut, Muliaman menekankan bahwa kunci utama agar korporasi dan negara tetap bertahan adalah membangun agility di semua lini.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode 2012-2017 ini menjelaskan, agility bukan hanya soal bertahan, tetapi juga kemampuan untuk membaca perubahan pasar, beradaptasi cepat, dan menangkap peluang baru di tengah ketidakpastian.

Agility itu soal bagaimana sebuah entitas—baik korporasi maupun negara—mampu mengantisipasi, merespons, dan bahkan tetap tumbuh di tengah lingkungan global yang sangat dinamis. Kalau lambat berubah, bisa habis di tengah jalan,” ungkapnya.

Baca juga: OJK Perkuat Tata Kelola dan Integritas Sektor Jasa Keuangan

Namun demikian, Muliaman mengakui bahwa Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah besar. Beberapa indikator global seperti Logistics Performance Index (LPI), Global Connectedness Index (DHL), dan Global Services Location Index (Kearney) menempatkan Indonesia di posisi yang kurang kompetitif dibanding negara pesaing di Asia.

Ia mencontohkan, dalam indeks kinerja logistik, Indonesia masih berada di peringkat 46 dari 150 negara, jauh di bawah Singapura yang menempati posisi teratas.

Di bidang perdagangan lintas batas, waktu dan biaya ekspor Indonesia pun masih tergolong mahal dibandingkan Malaysia dan negara tetangga lainnya.

Peluang dari BRICS dan ASEAN

Meski demikian, Muliaman optimistis potensi kerja sama di forum internasional seperti BRICS dan ASEAN dapat menjadi “safety net” bagi Indonesia.

Menurutnya, integrasi ekonomi regional ini bisa memperluas akses pasar, menjaga stabilitas moneter, mengurangi risiko geopolitik, dan memperkuat supply chain regional.

“Keanggotaan Indonesia di BRICS harus dimanfaatkan secara optimal, bukan hanya sebagai status formal, tapi juga sebagai sumber manfaat riil bagi perekonomian dan korporasi nasional,” tegasnya.

Baca juga: BKSAP DPR Dorong BRICS Dukung Reformasi WTO dan Kerja Sama Ekonomi

Ia pun mendorong para pelaku usaha untuk lebih memahami peluang yang bisa digali dari dua blok ekonomi besar tersebut guna meningkatkan daya saing di tengah situasi global yang penuh ketidakpastian. (*) Ayu Utami



Source link

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top