Produksi Sawit RI Capai 12 Ton/Ha, Target 92 Juta Ton di 2025


Poin Penting

  • Pemerintah menargetkan produksi sawit 92 juta ton pada 2025, dengan produktivitas perkebunan besar mencapai 10–12 ton per hektar melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
  • Sertifikasi ISPO diperkuat melalui Perpres No.16/2025, mencakup seluruh rantai industri dan bersifat wajib, dengan biaya sertifikasi petani ditanggung pemerintah.
  • Pemerintah dan pelaku industri dorong keberlanjutan sawit lewat pengembangan biofuel, pendampingan petani swadaya, serta pembenahan sektor hulu untuk mendukung hilirisasi

Jakarta – Pemerintah tengah membidik produksi kelapa sawit mencapai 92 juta ton pada 2025. Target ini sejalan dengan produktivitas kelapa sawit mencapai empat kali lipat dan lebih unggul dibanding minyak nabati lain.

Staf Ahli Bidang Konektivitas dan Pengembangan Jasa Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Dida Gardera mengatakan, Indonesia memiliki sekitar 16,38 juta hektare lahan sawit. Dari jumlah tersebut, 53 persen dikelola swasta, 6 persen oleh BUMN, dan 41 persen oleh petani swadaya.

Menurut Dida, produktivitas sawit nasional masih dapat ditingkatkan. Saat ini, rata-rata produksi masih di bawah 4 ton per hektare, sedangkan perusahaan besar mampu mencapai 10–12 ton per hektare.

“Melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), produktivitas diharapkan bisa naik dua hingga tiga kali lipat dalam empat tahun ke depan,” ujar Dida dalam diskusi publik bertema “Peran Industri Sawit dalam Perekonomian Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas 2045”, di Jakarta, Selasa, 4 November 2025.

Baca juga: Kemendag: Industri Kelapa Sawit Jadi Engine Pertumbuhan Ekonomi RI

Ia menjelaskan, keunggulan utama sawit dibandingkan minyak nabati lain seperti bunga matahari atau rapeseed terletak pada produktivitasnya yang empat kali lebih tinggi.

“Sawit adalah komoditas dengan produktivitas lahan terbaik di dunia dan menjadi pilihan paling berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati global,” ujarnya.

Perkuat Sertifikasi ISPO untuk Keberlanjutan

Dalam menghadapi tantangan keberlanjutan, pemerintah memperkuat kebijakan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) melalui Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2025. Sertifikasi ini kini mencakup seluruh rantai industri sawit, mulai dari perkebunan hingga sektor hilir.

“ISPO ini bersifat wajib. Bagi pekebun kecil, sertifikasi akan diberikan masa transisi empat tahun, dengan biaya yang seluruhnya ditanggung pemerintah,” ungkap Dida.

Selain menjamin keberlanjutan, pemerintah juga mengembangkan sistem informasi ISPO untuk memastikan keterlacakan dan transparansi data lahan. 

Dengan sistem ini, setiap lahan yang tersertifikasi ISPO dapat diverifikasi bersih dari kawasan hutan dan tidak tumpang tindih. Ini akan menjadi game changer dalam tata kelola sawit di masa mendatang.

Ia menambahkan, pengembangan biofuel, biogas, dan produk turunan nonpangan dari sawit juga menjadi peluang besar menuju ekonomi hijau. 

Saat ini, terdapat sekitar 200 produk turunan sawit yang dikomersialisasikan, mulai dari kosmetik hingga bioavtur. Bahkan 40 persen kandungan biodiesel yang digunakan masyarakat berasal dari sawit.

Pentingnya Keberlanjutan Industri Sawit

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Surjadi, menyoroti pentingnya dimensi sosial dalam keberlanjutan industri sawit. Pembangunan ekonomi tidak boleh terlepas dari kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup. 

Baca juga : Rencana Aksi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Era Jokowi Dilanjutkan Prabowo

“Petani swadaya memegang peranan penting, namun banyak dari mereka hanya memiliki 2–3 hektare lahan dan menghadapi keterbatasan akses terhadap pupuk serta pendanaan,” ujarnya. 

Ia menekankan perlunya pendampingan kelompok petani agar dapat beroperasi secara efisien dan mendapatkan nilai tambah dari hasil panen. Idealnya, petani membentuk kelompok dan didampingi oleh perusahaan besar atau pemerintah agar memiliki posisi tawar yang lebih baik.

Selain itu, Surjadi menggarisbawahi pentingnya perhatian terhadap buruh perkebunan sawit. Menurut dia, para buruh juga bagian dari ekosistem sawit yang berhak mendapatkan penghidupan layak dan status kerja formal.

Adapun Ketua Umum Gapki, Eddy Martono menekankan pembenahan sektor hulu industri sawit harus segera dibenahi. “Hilirisasi tidak akan berhasil jika hulunya bermasalah. Produksi sawit stagnan dalam lima tahun terakhir. Gapki mendorong peningkatan produktivitas petani dan efisiensi di tingkat kebun,” ujarnya.

Dia menyoroti dampak besar program biodiesel terhadap ekonomi daerah. Harga sawit sempat di bawah biaya produksi sebelum program biodiesel. 

“Banyak petani membiarkan buahnya busuk di pohon. Sekarang, berkat program biodiesel, harga bisa bertahan dan ekonomi daerah ikut hidup,” pungkasnya. (*)

Editor: Yulian Saputra



Source link

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top