Sawit Sumbang USD30 Miliar, Tapi Regulasi Berlapis Dinilai Jadi Ancaman


Jakarta – Kontribusi industri kelapa sawit sebagai penyumbang devisa terbesar negara, kini menghadapi ancaman baru, yakni regulasi yang saling tumpang tindih dan ketidakpastian hukum. 

Peneliti Sawit Universitas Indonesia sekaligus Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Eugenia Mardanugraha mengungkapkan, dua aturan terbaru, yaitu Undang-undang Cipta Kerja dan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, justru dikhawatirkan bakal menurunkan produksi dan melemahkan daya saing sawit Indonesia di pasar global.

“Kalau aturan ini ujung-ujungnya bikin produksi turun, yang rugi bukan hanya pelaku usaha, tapi juga negara. Ingat, sawit adalah penyumbang devisa dan kebutuhan energi nasional,” katanya, dalam diskusi “Menakar Kebijakan Industri Sawit Menuju Indonesia Emas 2045”, Senin, 16 Juni 2025.

Menurut Eugenia, ekspor sawit Indonesia menyumbang lebih dari USD30 miliar per tahun. Jika produktivitas anjlok akibat ketidakjelasan aturan, target pertumbuhan ekonomi nasional terancam terganggu.

Baca juga: Kemendag: Industri Kelapa Sawit Jadi Engine Pertumbuhan Ekonomi RI

Dari sisi ekonomi, dia menyoroti peran penting kelapa sawit dalam stabilitas ekonomi nasional dan energi alternatif seperti biodiesel. Kepastian regulasi akan menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat, sekaligus meningkatkan produktivitas sawit nasional. 

Dorongan untuk Peran Aktif BUMN

Eugenia mendorong agar pemerintah hadir sebagai investor melalui badan usaha milik negara (BUMN) untuk meningkatkan produktivitas sekaligus menarik minat swasta. 

“Jika BUMN mampu mencetak keuntungan, dapat dipastikan investor swasta akan terdorong ikut berinvestasi,” ujarnya. 

Baca juga: Industri Tembaga Kita Naik Kelas

Sementara itu, Kepala Pusat Studi Sawit IPB, Budi Mulyanto, menyoroti ketidakakuratan referensi peta yang digunakan Satgas Pemulihan Kawasan Hutan (PKH) Kejaksaan. Menurutnya, peta kawasan hutan yang dipakai kerap tidak sinkron dengan Undang-undang Kehutanan. 

“Kalau mau beres, batas kawasan hutan harus ditertibkan dulu, tanah masyarakat yang bukan kawasan hutan harus dikeluarkan dari peta kawasan,” kata dia. 

Pentingnya Kebijakan Afirmatif

Guru Besar IPB ini menekankan perlunya kebijakan afirmatif dalam pengelolaan kehutanan dan industri sawit. Ia mengkritik penggunaan peta kawasan hutan sebagai acuan hukum yang mutlak. Alasannya, acuan tersebut kerap tidak sesuai dengan kondisi nyata di lapangan.

Menurut dia, saat ini masih banyak hak atas tanah yang berada di kawasan nonhutan, sehingga penggunaan acuan tadi perlu dikaji kembali. 

“Misalnya, pada lahan seluas 31,8 juta hektare yang kini statusnya tidak berhutan, semestinya dapat ditertibkan dengan tetap memperhatikan masyarakat yang berada di dalamnya,” ujar Budi. 

Budi menilai bahwa kebijakan afirmatif (affirmative policy) sangat dibutuhkan untuk menjembatani kepentingan masyarakat, negara dan investor.

Baca juga: Ada Aturan Co-Payment, Pengamat Beberkan Dampaknya ke Industri Asuransi Kesehatan

Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Sadino mengatakan regulasi yang terlalu banyak dan saling bertabrakan justru memperkeruh iklim usaha. “Bukannya jadi pemicu perbaikan, malah bikin mati pelan-pelan,” kata dia.

Apalagi, lanjut Sadino kompleksitas regulasi kelapa sawit justru memperburuk persoalan tata kelola. “Filosofi hukum yang melandasi peraturan perundang-undangan selama ini tidak menunjang perbaikan, tapi malah memperkeruh. Perubahan regulasi kerap tidak sinkron,” ujarnya.

Selain pembenahan regulasi, Sadino mengusulkan pembentukan badan khusus untuk merumuskan solusi terhadap masalah struktural di sektor kelapa sawit.

Menurut dia, sampai saat ini masalah pengukuhan kawasan hutan dan penyelesaian sengketa lahan banyak yang belum tuntas. Lembaga ini, kata Sadino, dapat menjadi unit think thank strategis yang menjembatani pelaku usaha dengan berbagai kementerian terkait.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, mengatakan Satgas PKH dibentuk untuk mengembalikan penguasaan negara atas lahan-lahan yang selama ini digunakan tanpa dasar hukum yang sah. 

Dia menegaskan tindakan yang dilakukan merupakan langkah administratif untuk mengembalikan penguasaan negara atas lahan yang telah dikuasai pihak lain secara tidak sah.

“Jangan sampai muncul kesan di masyarakat bahwa terjadi pergantian pemain atau penyitaan. Kami tegaskan, Satgas PKH tidak pernah melakukan penyitaan, karena penyitaan itu adalah terminologi hukum dalam perkara pidana. Yang dilakukan adalah penguasaan kembali aset negara,” kata Harli.

Identifikasi Lahan Tak Sah dan Evaluasi Mekanisme Satgas

Dia mengatakan, pendekatan yang digunakan oleh Satgas PKH dalam menjalankan amanat Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 merupakan langkah elegan dan konstitusional yang menunjukkan kehadiran negara dalam menegakkan kedaulatan atas tanah.

Menurut Harli, Satgas PKH terdiri dari 12 kementerian dan lembaga, termasuk TNI, Polri, Kejaksaan Agung, dan Badan Informasi Geospasial. Hingga saat ini, tim mengidentifikasi sekitar 3,7 juta hektare lahan yang dikuasai tanpa dasar hukum yang sah dalam kawasan hutan.

“Sekitar 1,1 juta hektare lahan di sembilan provinsi dan 64 kabupaten telah dikembalikan kepada negara. Lahan-lahan tersebut sebelumnya dikuasai oleh sekitar 406 perusahaan,” ujar Harli.

Harli mengakui bahwa masukan dari akademisi dan masyarakat sipil perlu menjadi perhatian. Ia menyebut perlunya evaluasi terhadap mekanisme kerja Satgas PKH agar semakin transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kepastian hukum. (*)



Source link

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top