Tarif Impor AS 19 Persen Mulai Berlaku, Ekspor RI Terancam Turun di Paruh Kedua 2025


Jakarta – Penerapan tarif resiprokal oleh Amerika Serikat (AS) sebesar 19 persen terhadap komoditas impor Indonesia sudah dimulai. Tarif dagang yang sudah berlaku efektif sejak 7 Agustus 2025 itu diproyeksikan bakal berdampak besar terhadap sejumlah sektor industri, yang kemudian memengaruhi kinerja ekspor industri.

Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede mengungkapkan, secara kualitatif, pihaknya melihat arah dari kebijakan tarif resiprokal AS akan memengaruhi pembeli komoditas RI di pasar AS. Yang akhirnya, bakal berdampak terhadap pangsa ekspor Indonesia ke AS.

“Bicara mengenai semester kedua 2025, sejalan dengan implementasi (tarif resiprokal) yang sudah berlaku di Agustus, lalu efek front loading yang sudah berlaku di kuartal I dan II, kami tetap melihat bahwa ada potensi risiko pelemahan pesanan barang dari pasar AS karena sudah ada pengaruh dari penerapan tarif baru itu,” ujar Josua saat Media Briefing Virtual Economic Review: Semester I Tahun 2025 yang diadakan Permata Insitute for Economic Research (PIER), Senin, 11 Agustus 2025.

Baca juga: Ekonom Kadin Wanti-Wanti RI Dibanjiri Produk China Imbas Tarif Trump

Ia menjelaskan bahwa sekalipun ada beberapa pelaku industri nasional yang menurunkan harga komoditasnya agar tak terlalu membebani konsumen di pasar AS, perlambatan kinerja ekspor dan industri akibat tarif resiprokal tetap akan terjadi. Ia bahkan memprediksi perlambatan ekspor dapat terjadi sekitar 5 sampai 10 persen pada semester kedua tahun ini.

“Pasti ada potensi penurunan (kinerja ekspor), di mana nilai ekspor, khususnya ke AS secara langsung bisa melambat 5 sampai 10 persen secara tahunan,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, komoditas-komoditas RI yang bakal paling “terpukul” dengan adanya tarif resiprokal 19 persen ini, yakni tekstil/pakaian, karet, kayu dan produk turunannya, alas kaki, serta produk elektronik.

Perlambatan pada kinerja ekspor, kemudian turut berimbas pada pertumbuhan PDB nasional. Josua mengatakan, memasuki kuartal ketiga dan keempat, kinerja PDB nasional akan mengalami normalisasi atau perlambatan, seiring dengan perlambatan pada kinerja ekspor industri RI.

“Perlu ada intervensi kebijakan dari pemerintah. Artinya, pemerintah memberikan insentif atau stimulus bagi sektor padat karya yang terekspos langsung pada pasar AS. Dengan begitu, dampak pelemahannya bisa lebih rendah atau diminimalkan,” cetus Josua.

Baca juga: Kredit Loyo Vs Pertumbuhan Ekonomi 5,12 Persen: Paradoks yang Mencurigakan

Serupa dengan Josua, Head of Macroeconomics and Market Research Permata Bank, Faisal Rachman menyatakan kinerja ekspor Indonesia yang biasanya tumbuh double digit, berpotensi turun 3 sampai 5 persen basis poin di semester kedua 2025 akibat penerapan tarif resiprokal. Ini mengingat, posisi AS sebagai tujuan ekspor terbesar kedua dari Indonesia setelah China.

“Di satu sisi, China kemungkinan juga akan melemah, sehingga juga tak akan kuat permintaan dari sana. Jadi, kita lihat ada penurunan dari double digit, sekitar 3 sampai 5 persen basis poin,” sebut Faisal.

Terkait pertumbuhan PDB nasional untuk tahun 2025, pihaknya memproyeksikan pertumbuhan terjadi di kisaran 4,8 sampai 5,1 persen, dengan garis tengah pertumbuhan berada di level 4,9 persen.

“Kita lihat di kuartal pertama ekspor menjadi salah satu kontributor bagi pertumbuhan ekonomi kita. Tapi, di kuartal kedua, meskipun PDB kita naik 5,12 persen, kontribusi net eskpornya mengecil sekali. Kalau terjadi normalisasi, kemungkinan semester kedua akan berada di kisaran 5 persen (PDB), jadi secara tahunan akan berada sedikit di bawah 5 persen,” pungkas Faisal. (*) Steven Widjaja



Source link

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top