Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank
BANK-BANK ASING DALAM SEPULUH TAHUN terakhir “kalah” saing di pasar consumer banking di Indonesia. Bank-bank asing telah menjual sejumlah lini bisnisnya di pasar Indonesia. Bank-bank asing itu dinilai “kalah” saing dengan bank-bank lokal. Atau, dalam bahasa “humas” mereka, bank-bank asing menjual portofolio bisnis konsumer itu karena perubahan strategi global.
Adalah Citibank yang mengatakan demikian. Penjualan portofolio consumer banking di mana Citibank pernah menjadi raja “kartu kredit” di Indonesia dengan melahirkan consumer banker yang tersebar di berbagai bank.
Kabar terakhir, Citibank telah mengumumkan penjualan portofolio consumer banking ke Bank UOB Indonesia. Tidak hanya kartu kredit, tapi juga produk konsumer, termasuk produk simpanan.
Hampir bersamaan waktunya mengejutkan Commonwealth Bank Indonesia (unit usaha dari Commonwealth Bank Australia (CBA) di Indonesia) yakni PT Bank Commonwealth (PTBC), misalnya, dijual ke PT Bank OCBC NISP Tbk (OCBC NISP). Harganya murah, sekitar Rp2,2 triliun.
Tahun 2021 Bank Danamon menyelesaikan transaksi dengan pembelian portofolio consumer banking Standard Chartered Bank Indonesia (SCB), seperti kartu kredit, personal loan, dan kredit pemilikan rumah (KPR). Langkah ini dilakukan oleh SCB karena cabang bank asing ini akan lebih fokus pada corporate banking dan institutional banking.
Baca juga: Ini Penjelasan OJK Soal Maraknya Penjualan Bisnis Consumer Banking di Bank Asing
Penjualan portofolio consumer banking juga dilakukan oleh ANZ Bank Indonesia. Bank ini melepas bisnis konsumernya kepada DBS Bank Indonesia. Pihak ANZ telah menjual lima jenis produk dan layanan perbankan yang akan dialihkan, yaitu kartu kredit, MoneyLine, pinjaman pribadi (personal loan), KPR, dan fasilitas pinjaman yang dijamindenga dengan standby letter of credit (SBLC).
Bukan hanya penjualan portfolio. Bahkan, penjualan bank milik asing juga terjadi. Bank-bank asing yang dijual di antaranya Rabobank Indonesia yang dibeli oleh BCA yang kemudian menjadi Blu BCA (bank digital BCA). Bank ini sebelumnya dari bank milik Djarum (Bank Haga dan Bank Hagakita) yang dijual ke Rabobank Group dan akhirnya dibeli murah kembali oleh BCA.
Bahkan, ABN AMRO Bank yang pernah jaya di pasar consumer banking, yang dulu pernah bersaing dengan Citibank, pun lenyap. Ketika krisis 2008-2009, ABN AMRO dijual ke Royal Bank of Scotland (RBS), lalu RBS Indonesia pun menyerah kalah bersaing dan mengembalikan izinnya ke OJK.
Persaingan sengit di industri perbankan nasional memukul mundur The Royal Bank of Scotland N.V. (RBS N.V.). Bank berstatus kantor cabang bank asing (KCBA) tersebut resmi menutup operasionalnya setelah OJK merilis keputusan soal pencabutan izin usaha RBS pada 23 Februari 2017 lalu.
Jauh sebelum itu, Barclays Bank setelah membeli Bank Akita dan mengganti nama perusahaan menjadi Bank Barclays Indonesia juga mengembalikan izinnya kepada OJK. Bahkan, Barclays Bank sudah merekrut bankir-bankir jempolan lulusan Citibank untuk mengoperasikan Bank Barclays Indonesia.
Sementara, Bangkok Bank lebih memilih melakukan merger dengan PermataBank yang sudah lebih dulu diakuisisi dari Astra dan SCB. Selama ini Bangkok Bank lebih fokus pada pasar korporasi dari Thailand. Terbatas. Lebih fokus membesarkan PermataBank.
Baca juga: Jual Bisnis Konsumer ke UOB, Citibank Raup Keuntungan Modal Segini
Mengapa bank-bank asing ini kalah saing di pasar Indonesia? Sementara, investor asing dari Jepang dan Korea Selatan makin gigih masuk ke perbankan Indonesia. Pertanyaan ini menjadi penting karena pasar consumer di Indonesia sedang tumbuh dengan bonus demografi yang luar biasa besarnya.
Ada beberapa kemungkinan. Salah satunya, bisnis di Indonesia dianggap kecil dibandingkan dengan seluruh portofolio di seluruh dunia, sehingga menjual bisnis di Indonesia hanya semacam cut loss dengan kerugian yang kecil. Atau, tidak akan memengaruhi bisnis di pasar global yang akan fokus pada pasar tertentu. “Ini strategi global,” kata Batara Sianturi, Chief Executive Officer (CEO) Citibank Indonesia.
Tapi, ada kemungkinan bank-bank asing ini kewalahan di pasar konsumer yang sudah dikuasai oleh bank-bank KBMI 4 dan KBMI 3 papan atas. Mereka menyerah dan tak tahan bertarung di pasar yang sama. Kondisi pasar konsumer sudah perang bubat.
Pertanyaan yang menggelitik, bukannya Citibank gudangnya bankir yang dianggap jago di perbankan Indonesia? Citibank yang menjadi gudang bankir “hebat” pun kalah di pasar konsumer. Menyerah tanpa syarat. Padahal, kehebatan bankir-bankir Citibank seperti tak tertandingi di perbankan Indonesia. Lulusan Citibank sudah menjadi jaminan mutu bankir di Indonesia. Alumni Citibank tersebar di mana-mana.
Penjualan consumer banking Citibank merupakan “puncak kekalahan” bank-bank asing berperang di pasar konsumer Indonesia. Dan, itu jujur meredupkan pamor bankir dari Citibank di perbankan Indonesia. Inikah akhir dari Gang of Citibanker?